
Setelah menyelesaikan studi magisternya untuk bidang Dutch Cultural Studies di Universitas Leiden, Feba Sukmana ndilalah menemukan pula jodohnya yang notabene orang Belanda di Belanda. Hehehe…. Bisa begitu, ya?
Ya, jalan hidup orang tak ada yang bisa menebak. Mengawali perjalanan studinya sebagai mahasiswa jurusan Sastra Belanda di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Feba kemudian jadi benar-benar kepincut dengan segala apa yang berhubungan dengan negeri kincir angin itu hingga serius mendalaminya. Feba sempat menerbitkan buku fiksi berlatar belakang kota Leiden, dengan judul Holland: One Fine Day in Leiden (2013).
Kini, 10 tahun sudah Feba menetap di Belanda. Selama 3 tahun saat berkuliah di Leiden dan 7 tahun di Rotterdam bersama suami dan anak-anaknya. Seperti apa kehidupan ibu dari dua anak perempuan yang lucu-lucu itu? Dalam tulisan ini, Feba berbagi kecintaannya terhadap kota tempat tinggalnya, Rotterdam, yang ternyata bukan hanya nyaman, tetapi benar-benar memadai untuk dihuni bersama keluarga.
Sekitar tujuh tahun lalu saya pindah ke Rotterdam. Alasannya? Karena mau menikah. Untuk membina rumah tangga, tentu saja terlebih dahulu kami harus membina rumah kontrakan, alias mencari tempat tinggal bersama. Atas nama kepraktisan, akhirnya kami memutuskan untuk berdomisili di Rotterdam.
Ruang Publik
Awal-awal tinggal di kota ini, saya—yang sebelumnya ngekos di Leiden—kontan agak “jetlag”. Bayangkan, hidup saya tercerabut tiba-tiba dari Leiden yang tenang dan romantis, ke Rotterdam yang lebih metropolis. Namun, lama-kelamaan, saya pikir, kok lumayan juga, ya, kota ini?
Kata “lumayan” tentu saja tidak cukup untuk menggambarkan kota yang dijuluki “Manhattan di Tepi Sungai Maas” ini, karena menurut penelitian terakhir Komisi Eropa, Rotterdam adalah kota dengan kualitas hidup (quality of life) paling tinggi di Belanda. Dari semua kota di Eropa, Rotterdam menempati peringkat ke-12 (sedangkan Amsterdam, ibukota Belanda, ada di urutan ke-17). Bahkan, penelitian tersebut bilang, Rotterdam punya ruang publik terbaik di seluruh Eropa.
Nah, yang terakhir itu tepat sekali, ruang publik di Rotterdam memang sangat memadai. Jujur saja, saya baru ngeh soal ini ketika sudah punya anak. Fasilitas kota Rotterdam benar-benar memudahkan hidup kami sebagai orangtua. Mengapa? Karena trotoar rapi dan lebar (jadi gampang dorong stroller dan nggak kuatir kalau anak-anak melenggang di pinggir jalan) dan jalur sepeda rata-rata terpisah dengan jalur kendaraan lain (jadi tenang ketika naik sepeda sembari memboncengkan anak).
Selain itu, taman dan alun-alun banyak juga luas (jadi anak-anak bisa puas berlarian sampai capek), semua gedung dan transportasi publik bisa diakses oleh pengguna kursi roda (yang berarti, mudah pula diakses anak-anak dan orangtua ber-stroller), belum lagi kebun binatang, berbagai museum, dan taman bermain anak yang ada di setiap sudut kota.
Buku
Selain fasilitas publik yang mempermudah para orangtua bergerak, kota ini juga sangat ramah anak (child-friendly). Kalau mau mengajak anak makan di luar, misalnya, banyak sekali restoran yang dilengkapi “pojok bermain”. Biasanya, sih, mereka menyiapkan mainan dapur-dapuran (namanya juga restoran, ya orientasinya makanan) atau pasar-pasaran.
Beberapa yang sering kami kunjungi adalah kafe Hopper di pusat kota, restoran Westerpaviljoen di Rotterdam Barat, dan Parqiet—yang terakhir ini lokasinya di tengah taman Euromast, jadi kalau cuaca bagus, anak-anak bebas berlari-larian dengan aman dan nyaman di depan restoran.
Ada juga restoran yang punya konsep “meja bermain” seperti Juffrouw van Zanten, jadi keluarga yang bawa batita macam kami bakal ditempatkan di meja khusus yang punya laci penuh mainan dan buku. Nah, sementara anak bermain, kami bisa (sedikit lebih) tenang makan atau mengobrol.
Yang saya perhatikan dari berbagai tempat umum ramah anak ini adalah: selalu ada buku. Selalu. Di restoran, ruang tunggu instansi pemerintah, praktik dokter, pasar swalayan – kalau ada pojok bermain anak, bisa dipastikan ada buku yang menemani. Pendekatan orang Belanda soal buku inilah yang saya suka, mereka tidak menganggap buku sebagai sesuatu yang istimewa. Alih-alih melabeli buku sebagai “benda pintar” penghuni rak khusus, mereka menyandingkan buku dengan mainan anak. Membaca buku dianggap kegiatan lumrah, selumrah main boneka atau mobil-mobilan.
Saking terintegrasinya buku dalam kehidupan anak, tiap kali saya baru melahirkan, kami selalu menerima surat dari Pemerintah Kota. Isinya brosur mengenai betapa pentingnya membacakan buku kepada bayi dan anak-anak, plus voucher yang bisa ditukar koper mungil berisi buku cerita di perpustakaan setempat. Tak lupa, surat itu dilengkapi imbauan untuk mendaftarkan bayi yang baru lahir sebagai anggota perpustakaan. Iya, benar. Bayi merah sudah bisa jadi anggota perpustakaan. Sampai usia 18 tahun, anak-anak Rotterdam berhak mendapatkan keanggotaan gratis dan bebas meminjam buku apa saja (artinya, kami para orangtua bisa nebeng pakai kartu perpus anak untuk pinjam buku secara cuma-cuma. Hahaha….).
Perpustakaan
Tidak berlebihan jika saya bilang, perpustakaan kota Rotterdam sangat menyenangkan. Kalau cuaca buruk atau suhu terlalu dingin untuk bermain di luar, kami pasti nongkrong di perpustakaan. Mereka punya satu lantai khusus untuk anak berusia 0-12 tahun. Jangan bayangkan lantai ini tenang dan sepi seperti ruang baca pada umumnya, di sini anak-anak (dan bayi) bebas bereksplorasi—berlari-larian, membaca, memanjat-manjat, main game edukatif di komputer, atau sekadar mengacak-acak rak buku—semua bisa dan boleh.
Nggak jarang juga, terdengar suara tangisan bayi atau batita. (Lalu saya? Walah, nggak usah ditanya, kalau cuma ngadepin anak tantrum di perpus, mah, aku wisbiyasak, Mbakyu!).
Nggak hanya itu, perpustakaan kota Rotterdam juga rutin mengadakan kegiatan buat anak-anak. Setiap Rabu siang, ada acara mendongeng atau membacakan buku untuk anak-anak yang biasanya dikombinasikan dengan pertunjukan boneka interaktif. Minimal sebulan sekali, ada pertunjukan teater yang diperuntukkan bagi anak-anak dari berbagai kelompok usia secara bergantian.
Toko Buku
Memang, sih, perpustakaan kota sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menstimulasi minat baca anak, tapi tetap saja, kami suka centil melongok toko-toko buku. Selain jaringan toko buku besar seperti Donner atau Bruna, Rotterdam juga punya sejumlah toko buku lokal yang nggak kalah ciamik. Yang ada di nomor satu daftar favorit kami adalah De Kleine Kapitein di jalan Botersloot, tidak jauh dari obyek wisata Rumah Kubus dan Markthal.
Kabarnya, toko buku anak ini adalah yang terbesar di Belanda. Kalau masuk ke dalamnya, rasanya geregetan, karena display-nya selalu menarik hati dan interiornya warna-warni. Selain buku, toko ini menjual—tentu saja—berbagai mainan edukatif. Yang juga bikin De Kleine Kapitein jadi juara: ada kafe kecil di dalamnya, lengkap dengan arena bermain anak. Jadi, orangtua bisa sejenak menarik napas sementara anak-anak sibuk bermain—sembari tetap dikelilingi buku.
Tujuh tahun tinggal di Rotterdam, saya melihat kota ini berevolusi. Selama ini, Rotterdam dikenal sebagai Kota Pelabuhan, tetapi saya pikir, sudah waktunya menambah predikat kota ini sebagai Kota Ramah Anak.
ABOUT FEBA
Ibu dua anak yang bekerja sebagai produser video. Penyuka puisi, teater, musik lawas, serial detektif dan warna-warna pastel. Hobi membolak-balik katalog IKEA dan selalu menyempatkan diri tidur siang jika ada kesempatan.
emmy umasita
Senang sekali. Membacanya seperti membayangkan saya berada ditempat yang ada didalam foto :)