SAN FRANCISCO, KOPI, DAN INSPIRASI

Saya percaya tiap kota punya pesonanya sendiri. Dari Jakarta yang selalu sibuk, hidup membawa saya ke kota mungil yang katanya salah satu kota tercantik di Amerika Serikat. Nggak perlu waktu lama, setahun sejak pindah ke sini, saya sudah yakin San Francisco akan jadi “mantan terindah”, yang bakal bikin saya susah lupa ketika kembali ke Indonesia nanti.

Ada banyak hal selain Golden Gate Bridge dari kota yang akrab dipanggil City by the Bay ini. Pemandangan alamnya, geliat manusia-manusia imigrannya, kabut yang sering mampir serta hiruk pikuk teknologi dari Silicon Valley seperti membuat kota ini hidup dengan caranya sendiri.

Sebagai mahasiswa S2, saya sering bosan kalau terlalu lama membaca di perpustakaan kampus. Makanya, mencari tempat membaca yang asik jadi salah satu kegiatan wajib saya saat luang. Nah, sebagai pencinta kopi, saya cenderung mencari tempat yang dekat dengan coffee shop. Untungnya, kota yang dikenal berkabut ini, punya banyak tempat menarik untuk ditawarkan. Berikut saya berbagi cerita tentang tempat-tempat favorit saya untuk belajar dan mencari inspirasi sambil menyeruput kopi.

Pantai dan Dermaga
Salah satu alasan saya memilih San Francisco sebagai tempat studi karena saya nggak bisa jauh-jauh dari laut. Jadi, nggak heran kalau tempat pertama yang saya tuju buat mencari ide adalah pantai. Walaupun ada beberapa pantai cantik seperti Baker Beach dan Stinson Beach, pantai favorit saya adalah Ocean Beach. Kenapa? Cukup dengan 10 menit jogging dari rumah, saya sudah sampai di pantai ini—yang biasanya saya kunjungi menjelang sore hari. Terletak di Sunset District, pantai yang berada di dekat rumah-rumah warna-warni dan menghadap ke Samudera Pasifik ini memang terkenal dengan sunset-nya yang cantik.

Menyusuri pantai sambil melihat orang-orang berselancar atau pun duduk dengan sebuah buku di kursi panjang di pinggir pantai, yang nggak boleh lupa adalah mampir dulu untuk secangkir kopi. Andytown Coffee Roasters paling sering jadi tempat singgah saya. Bukan cuma karena jaraknya yang hanya dua menit dari pantai, desain interiornya yang cantik atau rasa kopinya yang kuat, tapi terbatasnya tempat duduk di coffee shop ini justru bikin saya betah. Nggak jarang saya duduk di jendela besar di depan kedai dan mengobrol dengan siapa pun yang sedang menikmati kopi.

Kedai kopi ini juga punya cerita menarik di balik gambar burung yang menjadi logo mereka. Ternyata, burung tersebut adalah Snowy Plover, salah satu burung langka yang bisa ditemui di Ocean Beach. Bahkan, Andytown membuat minuman dingin khusus yang didedikasikan buat burung ini. Minuman yang isinya espresso, Italian soda, gula merah cair dengan whipped cream buatan sendiri jadi andalan saya saat hari terlalu panas.


Saat hari berkabut atau terlalu dingin, saya akan mampir ke Hollow, café imut yang ada di Inner Sunset District. Walaupun terlihat kecil dari luar, café ini sangat cantik dengan furnitur serba kayu dan suasana rumahan yang sederhana. Pesona rustic-nya bikin saya betah membaca berjam-jam ditemani hot chocolate dengan marshmallow bentuk kubus yang jadi ciri khas Hollow.

Selain pantai, dermaga juga jadi tempat saya biasanya duduk-duduk santai. Dua spot favorit saya adalah Ferry Building atau Cupid’s Span yang ada di kawasan Embarcadero (yang artinya ‘dermaga’ dalam bahasa Spanyol). Bedanya dengan Ocean Beach yang dekat dengan perumahan dan langsung menghadap ke samudera, dua dermaga ini justru dekat perkotaan dan gedung-gedung perkantoran. Kalau kangen bisingnya Jakarta, saya biasa duduk di dekat patung panah dan busur besar yang jadi trademark Cupid’s Span.

Merumput dan Melamun
Selain pantai dan dermaga, taman juga jadi reading room favorit saya di kota ini. Untungnya, selain udara dingin karena kabut atau hujan, cuaca cukup bersahabat hampir sepanjang tahun. Seperti Central Park di New York, taman paling besar di San Francisco tentu saja Golden Gate Park. Tapi, buat saya, taman paling menyenangkan adalah Dolores Park.

Terletak di Mission District, Dolores Park menawarkan pemandangan kota San Francisco dan the bay yang bikin terkagum-kagum. Ada banyak spot di taman ini tapi saya biasanya memilih tempat yang agak tinggi untuk mendapatkan pemandangan terbaik. Cukup dengan alas duduk, buku, dan kacamata hitam, saya setidaknya menghabiskan dua jam merumput di Dolores Park sambil menikmati cantiknya city skyline.

Setelah merumput, saya sering berjalan ke Clarion Alley untuk melihat berbagai mural yang ada di sepanjang jalan itu. Terletak di antara Mission dan Valencia Street, Clarion Alley sebenarnya gang kecil yang penuh dengan mural karya para seniman dari Clarion Alley Mural Project, sebuah organisasi grassroot yang mendukung seniman lokal.

Dengan iklim politik liberal California yang kental, mural-mural di sini sering bicara tentang isu-isu social justice seperti gentrifikasi, marriage equality, dan imigran. Nggak hanya di Clarion Alley, berbagai mural seru lainnya juga tersebar di seluruh Mission District. Jadi, kalau ada waktu lebih, sempatkan berjalan kaki mengitari kawasan ini, ya.




Setelah lelah berkeliling, saya biasanya mengistirahatkan kaki di Philz Coffee. Walaupun Philz Coffee sudah punya banyak cabang di berbagai kota di California, kedai di Mission District ini adalah kedai pertama yang dibuka tahun 2002. Buat penggemar latte seperti saya, pertama kali datang ke Philz Coffee, saya kecewa karena mereka hanya menjual regular coffee dan teh. Tapi, setelah mencoba kopi yang disajikan dengan filosofi slow-coffee, sepertinya saya mengerti kenapa latte dan kawan-kawannya nggak ada di menu. The taste of the coffee was already amazing!

Selain daya tarik Ambrosia Coffee of God (menu favorit saya di Philz Coffee), kedai ini juga punya vibe yang asik untuk saya bertemu orang baru. Beberapa communal table besar dan furnitur tua yang terkesan vintage seringnya bikin saya lupa waktu mengobrol dengan buku atau pun kawan baru.

Berkelana ke Masa Lalu
Meskipun arus migrasi para techies nggak berhenti mengalir ke San Francisco, nuansa antik kota ini masih sangat terasa lewat arsitekturnya yang terkesan kuno. Bukan hanya rumah-rumah tua, gedung-gedung perkantoran yang mempertahankan bangunan lama pun masih banyak terlihat.

Jalan-jalan menyusuri kawasan Financial District, downtown dan City Hall sambil mengagumi arsitektur kota ini dan melihat dinamika manusianya sering mendatangkan ide baru di kepala saya.




Tapi, katanya cara kita melihat sesuatu juga bisa mempengaruhi apa yang kita lihat. Makanya, kadang-kadang saya juga memilih moda transportasi cable car untuk melihat sisi kota yang lain. Meskipun makan waktu lebih lama dan sedikit lebih mahal, cable car membawa saya naik turun menjelajah jalanan berbukit yang jadi keunikan San Francisco.


Ada banyak kedai kopi di kawasan downtown San Francisco. Tapi, Blue Bottle Coffee tetap jadi langganan saya ketika main ke area ini. Memang brand coffee shop asal Oakland yang dianggap salah satu yang terbesar third wave coffee ini, sudah banyak buka cabang di kota-kota lain, tapi kedai Blue Bottle Coffee favorit saya ada di Mint Plaza. Nyempil di antara bangunan-bangunan tua dekat markas koran lokal San Francisco Chronicle, kedai ini selalu berhasil membuat saya merasa berada di tempat dan waktu lain. Secangkir latte dan notebook di tangan, saya siap menuangkan berbagai pikiran yang seliweran di kepala. Another fine day in the city.

ABOUT CONTRIBUTOR
Marissa Saraswati adalah mahasiswi magister di bidang Women and Gender Studies di San Francisco State University lewat beasiswa Fulbright. Dia menemukan minatnya setelah bergelut di dunia media selama 8 tahun dan sempat menjabat sebagai Managing Editor di majalah GADIS. Laut, kopi, dan buku adalah tiga dari banyak hal favoritnya.

 

Sempat bekerja di majalah Martha Stewart Living Indonesia selama 5 tahun. Ibu satu putri ini adalah kontributor untuk artikel seputar tanaman, inspirasi dekor, dan DIY project.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.